Tue. Oct 14th, 2025
Rodrygo

Rodrygo lahir di Osasco, São Paulo, pada 9 Januari 2001. Kalau kamu tahu sejarah sepak bola Brasil, nama klub Santos FC pasti nggak asing. Dari situlah muncul legenda seperti Pelé dan Neymar Jr. Nah, Rodrygo juga tumbuh di akademi klub yang sama. Lucunya, ayahnya dulu juga pemain sepak bola, meski tidak sepopuler anaknya sekarang.

Menurut beberapa wawancara yang aku baca, sejak kecil Rodrygo sudah terbiasa tidur dengan bola di samping tempat tidurnya. Katanya, dia suka menendang bola bahkan di dalam rumah—sesuatu yang pasti bikin ibunya sering marah, tapi ya begitulah calon bintang.

Dia masuk akademi Santos saat usianya baru 10 tahun. Dari sanalah bakatnya mulai menarik perhatian banyak orang. Banyak pelatih bilang kalau Rodrygo itu bukan hanya cepat, tapi juga punya “keputusan instingtif yang matang”—sebuah hal yang jarang dimiliki pemain muda. Saat dia berusia 16 tahun, dia sudah debut di tim utama Santos. Dan lucunya, itu membuatnya jadi pemain termuda yang dikontrak Nike di Brasil. Bayangkan, umur 16 tahun sudah punya kontrak sponsor global.

Aku jadi ingat waktu umur 16, aku baru bisa beli sepatu bola pertama pakai uang tabungan sendiri.

Dari Brasil ke Real Madrid: Mimpi Jadi Kenyataan

Panggilan Madrid Is Real! Rodrygo Ungkap Momen Penting Tolak Barcelona di  Usia Muda - Berau Post

Tahun 2018 jadi titik balik besar. Real Madrid datang dengan tawaran €45 juta untuk anak berusia 17 tahun. Gila, bukan? Klub sebesar itu berani menginvestasikan uang sebanyak itu untuk pemain yang belum genap 18 tahun. Tapi Florentino Pérez memang punya insting tajam untuk talenta muda. Setelah kesuksesan dengan Vinícius Jr., Madrid tahu bahwa Brasil masih punya banyak permata Wikipedia.

Rodrygo awalnya masih agak kikuk di Eropa. Cuaca dingin, bahasa Spanyol, tekanan media—semua datang bersamaan. Aku pernah baca wawancara dia di mana dia bilang:

“Waktu pertama kali di Madrid, aku sering merasa kesepian. Tapi aku tahu, jika ingin menjadi pemain besar, aku harus belajar cepat.”

Dan benar saja. Di musim pertamanya, Rodrygo langsung mencetak hat-trick di Liga Champions melawan Galatasaray. Bukan hat-trick sembarangan, ya—dia jadi pemain termuda kedua dalam sejarah yang melakukannya di kompetisi itu. Saat itu aku nonton pertandingannya sambil makan malam, dan jujur, makananku sampai dingin saking fokusnya aku ngelihat bocah ini lari-lari di sisi kiri.

Rodrygo dan “Mentalitas Madridista”

Yang bikin aku kagum dari Rodrygo bukan cuma tekniknya, tapi juga mentalnya. Main di klub seperti Real Madrid itu bukan perkara gampang. Tekanannya luar biasa. Satu kesalahan kecil bisa jadi berita utama di media Spanyol keesokan harinya. Tapi dia tetap tenang.

Aku pernah lihat momen dia mencetak gol penentu melawan Manchester City di semifinal Liga Champions 2022. Waktu itu semua orang mengira Madrid sudah kalah. Tapi Rodrygo muncul dari bangku cadangan, dan dalam dua menit—ya, dua menit—dia mencetak dua gol yang mengubah segalanya. Aku masih merinding setiap kali nonton ulang cuplikan itu.
Dari situ aku sadar, anak ini punya sesuatu yang disebut “DNA Madrid”—keyakinan bahwa pertandingan belum selesai sampai wasit meniup peluit terakhir.

Dia bahkan bilang di wawancara pasca-pertandingan:

“Di Madrid, kami tidak pernah menyerah. Bahkan saat semua orang pikir kami sudah selesai.”

Dan kalimat itu sekarang jadi semacam mantra bagi fans Madrid. Aku sendiri, sebagai guru yang sering ngomel ke murid soal jangan mudah menyerah, sering pakai kisah Rodrygo ini buat contoh di kelas. Kadang muridku cuma senyum, tapi aku tahu mereka diam-diam paham maksudnya.

Chemistry dengan Vinícius Jr. dan Benzema

Liverpool Incar Rodrygo dari Real Madrid, Siap Tawar 100 Juta Euro! - Padek  Jawapos

Salah satu hal paling menarik dari Rodrygo adalah hubungannya dengan pemain lain, terutama Vinícius Jr. dan dulu Karim Benzema. Di lapangan, mereka seperti punya koneksi tanpa kata. Aku suka bilang, kalau Vinícius itu “api”, maka Rodrygo itu “air.” Vini suka bermain eksplosif, cepat, kadang sedikit liar. Rodrygo lebih kalem, tapi efektif. Mereka berdua menciptakan keseimbangan yang indah di sayap Madrid.

Setelah Benzema pergi ke Arab Saudi, peran Rodrygo makin besar. Dia mulai sering main di posisi striker atau false nine. Awalnya aku skeptis—aku pikir gaya mainnya terlalu lembut untuk posisi itu. Tapi ternyata dia cepat beradaptasi. Gol demi gol datang, bahkan beberapa di laga penting seperti El Clasico.

Mungkin itu karena dia punya kecerdasan taktis yang tinggi. Jarang-jarang pemain muda bisa membaca permainan secepat dia. Dan di balik semua itu, aku rasa ada satu hal penting: kerendahan hati. Rodrygo nggak pernah berusaha meniru siapa pun. Dia tetap jadi dirinya sendiri.

Gaya Bermain dan Kelebihan Rodrygo

Kalau bicara teknis, Rodrygo itu definisi dari pemain modern: cepat, taktis, dan fleksibel. Dia bisa main di kiri, kanan, bahkan tengah. Tapi yang paling aku suka dari dia adalah cara dia membuat keputusan. Banyak pemain muda suka over-dribble, tapi Rodrygo tahu kapan harus berhenti, kapan harus mengumpan, dan kapan menembak.

Salah satu analis sepak bola Spanyol pernah bilang:

“Rodrygo bermain seperti pemain yang berusia 28 tahun, bukan 22.”

Dan aku setuju banget. Gerakannya efisien. Setiap sentuhan bola punya tujuan. Kalau kamu perhatikan, dia juga punya kemampuan luar biasa dalam membaca ruang kosong—kemampuan yang bikin dia berbahaya di depan gawang.

Selain itu, dia juga rajin bertahan. Banyak pemain muda enggan turun ke belakang, tapi Rodrygo sering terlihat bantu bek kanan saat Madrid ditekan. Itu bukti kedewasaan taktik yang luar biasa.

Pelajaran dari Perjalanan Rodrygo

Sebagai seseorang yang sudah lama ngajar dan sering lihat anak-anak muda menyerah cepat, kisah Rodrygo ini mengajarkan banyak hal. Ada tiga pelajaran besar yang selalu aku ambil dari dia:

  1. Kesabaran itu kekuatan.
    Saat Vinícius lebih dulu bersinar, Rodrygo tetap tenang. Dia tidak iri, tidak mencari perhatian. Dia fokus memperbaiki diri. Itu hal langka di era sekarang yang serba ingin cepat.

  2. Adaptasi adalah kunci sukses.
    Dari Brasil ke Spanyol, dari winger ke striker, dia beradaptasi terus. Di dunia apa pun—entah kamu blogger, pengusaha, atau murid sekolah—kemampuan beradaptasi menentukan masa depanmu.

  3. Tidak perlu jadi paling menonjol untuk jadi penting.
    Kadang kita lupa, pemain yang tidak selalu mencetak gol bisa punya peran besar. Rodrygo adalah contohnya. Dia membuat sistem Madrid berjalan mulus. Dalam hidup, tidak semua orang harus di depan panggung. Ada yang justru membuat panggung itu berdiri.

 

 

Baca juga fakta seputar : biographi

Baca artikel menarik tentang  : Sabrina Carpenter: Perjalanan Karier, Musik, dan Pesonanya